Dalam dunia usaha yang semakin kompetitif, merek memiliki peranan penting sebagai identitas pembeda suatu produk atau jasa. Tanpa perlindungan hukum yang memadai, merek dapat dengan mudah disalahgunakan oleh pihak lain untuk memperoleh keuntungan yang tidak sah. Oleh karena itu, perlindungan terhadap merek terdaftar merupakan bagian esensial dari sistem hukum kekayaan intelektual di Indonesia. Pentingnya perlindungan hukum terhadap merek tidak hanya terletak pada aspek ekonomi, tetapi juga menyangkut kepercayaan konsumen dan reputasi pelaku usaha. Dalam praktik, sengketa merek sering kali muncul akibat penggunaan tanda yang memiliki persamaan pada pokoknya atau keseluruhannya dengan merek yang telah terdaftar lebih dahulu.
Dasar Hukum Perlindungan Merek
Pengaturan utama mengenai merek di Indonesia diatur dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2016 tentang Merek dan Indikasi Geografis (“UU Merek”). Pasal 1 angka 1 UU Merek mendefinisikan merek sebagai “tanda yang dapat ditampilkan secara grafis berupa gambar, logo, nama, kata, huruf, angka, susunan warna, dalam bentuk dua dimensi dan/atau tiga dimensi, suara, hologram, atau kombinasi dari dua atau lebih unsur tersebut untuk membedakan barang dan/atau jasa yang diproduksi oleh orang atau badan hukum dalam kegiatan perdagangan barang dan/atau jasa.”[1]
[1] Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2016 tentang Merek dan Indikasi Geografis, Pasal 1 Angka 3
UU Merek menegaskan bahwa hak atas merek timbul karena pendaftaran. Artinya, sistem perlindungan di Indonesia menganut asas first to file, bukan first to use. Dengan demikian, pihak yang pertama kali mengajukan pendaftaran merek dan memperoleh sertifikat dari Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual (DJKI) adalah pemegang hak yang sah atas merek tersebut.²Perlindungan hukum terhadap merek di Indonesia diberikan melalui pendaftaran. Hal ini ditegaskan dalam Pasal 3 UU Merek yang menyatakan bahwa “Hak atas merek diperoleh setelah merek tersebut terdaftar.”[1] Artinya, Indonesia menganut sistem konstitutif, yakni hak eksklusif baru timbul setelah merek secara resmi dicatatkan di Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual (DJKI).
[1] Ibid.,Pasal 3.
Prosedur Pendaftaran Merek
Prosedur pendaftaran merek di Indonesia diatur dalam Pasal 4 hingga Pasal 25 UU Merek. Tahapan tersebut meliputi:
- Pengajuan permohonan kepada DJKI, baik secara elektronik maupun manual.
- Pemeriksaan administratif, untuk memastikan kelengkapan dokumen dan pembayaran biaya pendaftaran.
- Pengumuman merek selama tiga bulan agar pihak ketiga dapat mengajukan keberatan.
- Pemeriksaan substantif, untuk menilai apakah merek memenuhi syarat pendaftaran (tidak meniru, tidak menyesatkan, dan memiliki daya pembeda).
- Penerbitan sertifikat merek bagi permohonan yang disetujui.
Dalam praktik, sengketa kerap muncul apabila dua pihak mengajukan merek yang serupa secara bersamaan. Menurut Sudargo Gautama, sistem first to file yang dianut Indonesia menegaskan bahwa hak atas merek diberikan kepada pihak yang lebih dahulu mendaftarkannya, bukan kepada pihak yang pertama kali menggunakan merek tersebut di pasar.[1]
[1] Sudargo Gautama, Komentar atas Undang-Undang Merek Baru, Bandung: Alumni, 1997, hlm. 12.
Bentuk Perlindungan Hukum terhadap Merek
Pemilik merek terdaftar memperoleh hak eksklusif untuk menggunakan sendiri mereknya atau memberikan izin kepada pihak lain melalui perjanjian lisensi. Pasal 83 ayat (1) UU Merek menyebutkan bahwa pemilik merek terdaftar berhak mengajukan gugatan perdata terhadap pihak yang tanpa hak menggunakan merek yang sama atau memiliki persamaan pada pokoknya untuk barang dan/atau jasa sejenis. Selain perlindungan perdata, UU Merek juga memberikan perlindungan pidana terhadap pelanggaran merek. Pasal 100 sampai Pasal 102 mengatur bahwa setiap orang yang dengan sengaja dan tanpa hak menggunakan merek terdaftar milik pihak lain dapat dipidana penjara hingga 5 (lima) tahun dan/atau denda hingga Rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah).
Dengan demikian, perlindungan hukum terhadap merek bersifat komprehensif, meliputi aspek preventif (melalui pendaftaran) dan represif (melalui sanksi perdata dan pidana). Dalam konteks ekonomi modern, merek yang kuat bahkan dapat dijadikan objek jaminan fidusia atau aset komersial yang bernilai tinggi, sehingga memperkuat posisi hukum dan ekonomi pemiliknya.
Menurut Rachmadi Usman, perlindungan hukum terhadap merek merupakan bentuk pengakuan negara atas hasil kreativitas manusia dalam kegiatan perdagangan.[1] Perlindungan tersebut tidak hanya bertujuan untuk melindungi kepentingan individu pemilik merek, tetapi juga untuk menjaga ketertiban dan kepastian hukum dalam dunia usaha.
[1] Rachmadi Usman, Hukum Hak atas Kekayaan Intelektual: Perlindungan dan Dimensi Hukumnya di Indonesia, Jakarta: Sinar Grafika, 2003, hlm. 145.
Kendati demikian, implementasi perlindungan merek di Indonesia masih menghadapi sejumlah tantangan. Di antaranya, rendahnya kesadaran pelaku usaha kecil dan menengah (UKM) untuk mendaftarkan merek mereka serta lemahnya penegakan hukum terhadap pelanggaran merek di lapangan. Oleh karena itu, peran aktif pemerintah, aparat penegak hukum, dan konsultan kekayaan intelektual sangat dibutuhkan untuk meningkatkan efektivitas perlindungan merek di Indonesia.
Perlindungan hukum terhadap merek memiliki peranan strategis dalam menciptakan iklim usaha yang sehat dan kompetitif. Melalui sistem pendaftaran yang konstitutif, pemilik merek memperoleh kepastian hukum atas hak eksklusifnya. Namun, tantangan terbesar masih terletak pada penegakan hukum yang konsisten dan peningkatan kesadaran masyarakat terhadap pentingnya pendaftaran merek.
Keberhasilan sistem perlindungan merek di Indonesia pada akhirnya bergantung pada sinergi antara pemerintah, penegak hukum, pelaku usaha, dan masyarakat. Dengan penegakan hukum yang tegas dan kesadaran hukum yang tinggi, perlindungan merek akan benar-benar berfungsi sebagai instrumen keadilan dan pendorong pertumbuhan ekonomi nasional.